Refleksi Kepemimpinan
Sisi Gelap Kepemimpinan
17 Juni 2012, John Pellowe, CEO dari Canadian Council of Christian Charities
Ketika saya menulis artikel berjudul Penanda awal hilangnya Integritas, saya pikir saya harus menulis tentang apa yang bisa kita pelajari dari pemimpin-pemimpin Kristen yang gagal. Tidak saja gagal atau jatuh dalam moral, tetapi apapun yang menyabotase kemampuan mereka untuk memimpin. Kira-kira setahun yang lalu saya menemukan seseorang yang tepat melakukan apa yang baru saya pikirkan! Gary Mcintosh dan Samuel Rima menulis sebuah buku untuk menujukkan kepada anda bagaimana menghindari kegagalan yang dapat mebuat anda kehilangan pelayanan anda. Mereka menggunakan beberapa kempemimpinan Kristen terkenal yang gagal sebagai ilustrasinya dalam judul Mengatasi Sisi Gelap Kepemimpinan: Bagaimana Menjadi Pemimpin yang Efektif dengan Menghadapi Potensi Kegagalan
Tesis mereka berkata bahwa keahlian atau kemampuan yang membuat atau memampukan anda menjadi pemimpin adalah keahlian yang sama yang membuat anda terjatuh. Mereka menyebut ini sebagai sisi gelap kepemimpinan. Intinya bukan berkata bahwa seorang pemimpin mempunyai sisi gelap, dan yang lain tidak, melainkan semua orang memiliki Sisi Gelap. Tetapi ketika anda berada di kepemimpinan terutama kepemimpinan senior sisi gelap anda berpotensi membuat badai kekacauan yang besar dari pada yang dialami orang lain, karena anda sebagai pemimpin memiliki kemampuan yang lebih yang berdampak pada orang lain. Itulah mengapa saya menulis bahwa seorang pemimpin harus dijunjung tinggi ke standart yang lebih tinggi daripada yang lain. Ketika anda meningkat lewat tingkatan kepemimpinan dan memeproleh kekuasaan yang lebih dan otoritas yang lebih untuk tujuan yang baik, demikian juga kelemahan sisi gelap anda juga memperoleh kekuatan yang lebih untuk berpotensi menghasilkan bahaya yang serius bagi anda dan orang lain.
Sebagai tambahan bahwa kuasa/kekuatan dapat menghasilkan kerusakkan yang besar, para pemimpin senior juga memiliki potensi untuk menggunakan kekuatan tersebut karena kekuatan itu secara relatif tidak dibatasi besarnya. Tanpa kehadiran kekuasaan yang lebih senior ( misal dewan pembina yang tidak ada di lingkungan pekerjaan), kunci utama yang mempenaruhi dengan mengayomi tidak ada di tempat menolong anda. Hal ini dikenali oleh politisi Perancis dan penyair Lamartine, yang menulis pada tahun 1848, “Kekuasaan Yang absolut merusak sifat alami yang terbaik” Pada tahun 1887 Lord Acton menulis ide yang berbunyi “ Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan Absolut korup secara absolut. Orang besar hampir selalu orang jahat.”
Jika pemimpin senior tidak sadar dan tidak mampu mengatur sisi gelapnya, yang tentu saja bukan bagian pekerjaan Dewan Pembina untuk terus mengawasinya, maka anda siap-siap akan menuju kepada kegagalan, kejatuhan. Kemampuan untuk mempergunakan kekuasaan yang berlawanan dengan pengaruh (paksaan daripada merangkul) maka kemungkinan besar sisi gelap akan timbul dan bermanifestasi pada pemimpin senior, daripada kepada orang lain yang mungkin menjadi subyek pengawasan untuk pengecekan dan keseimbangan dan jelas akan muncul.
Perlindungan melawan kegagalan dimulai dari menolak keuasaan absolut ( atau apapun yang mendekati itu) dan menyerahkannya kepada dewan yang independen dan aktif.
MENERIMA SISI GELAP ANDA
McIntosh dan Rima menunjukkan bahwa Saul (paranoid), Salomo ( narsisisme), Musa (mengendalikan), Samson (kebergantungan), Daud ( sombong), dan Yunus ( amarah), semua dalah contoh biblikal dari orang-orang yang takluk ( setidaknya pernah) pada sisi gelap mereka. Memiliki sisi gelap, kata penulis, adalah normal, itu adalah bagian dari diri manusia. Tetapi, bagaimanapun juga sangatlah penting bagi seorang pemimpin untuk mengijinkan Tuhan untuk menebus sisi gelap mereka karena hal yang berhubungan dengan sisi gelap biasanya sama denganl kelebihan yang membuat orang itu menonjol di dalam kepemimpinan. Kelebihan ini memberikan seorang pemimpin , energi, ambisi, determinasi, keteguhan dan kreatifitas yang dapat membawa kepada kepemimpinan yang hebat dan sukses, selama aplikasi yang negatif terus menerus diperiksa.
Tuhan mengijinkan para pemimpin untuk mengalami pengalaman-pengalaman yang menyesakkan dengan maksud untuk menolong mereka mengatasi sisi gelap mereka. Jika anda merefleksi, anda akan belajar banyak melaului pengalaman-pengalaman tersebut. Satu dari pengalaman terebut saya mendapatkan perspektif yang baru dan segar dalam peran saya dalam kepemimpinan. Saya sudah dialihkan oleh agenda/kepentingan beberapa orang, dan saya butuh untuk belajar kenyataan bahwa pekerjaan saya adalah untuk memimpin dengan cara Tuhan dan fokus untuk menyelesaikan misi. Saya membiarkan kebutuhan sisi gelap untuk validasi eksternal yang akibatnya membuat kepemimpinan saya keluar jalur, di saat saya berusaha agar disetujui. Tuhan menempatkan kita di dalam kepemimpinan untuk menyelesaikan tujuan-Nya, bukan untuk memuaskan kebutuhan kita. Saya harus memahami aspek ini tentang siapa saya agar saya dapat menaklukkannya. Keinginan saya harus berganti dari memvalidasi diri saya sendiri ke proses validasi asumsi-asumi dan strategi-strategi untuk membimbing kita menyelesaikan misi organisasi.
McIntosh dan Rima mengutip dari seseroang yang berkata bahwa dia:
..teryakinkan bahwa (sisi gelap yang menempel pada diri kita) memiliki potensi untuk pelayanan dan kepemimpinan kita yang efektif. Tanpa hal-hal tersebut terintegrasi di dalam hidup kita, maka kepemimpinan kita akan menjadi tetap dangkal dan bersandar pada kekuatan tangan sendiri- sebuah kepemimpinan yang merupakan ciptaan kita sendiri, dibangun berdasarkan pada apa yang kita rasa merupakan kwalitas dan karunia kita yang terbaik yang kita berikan.
Sifat yang berhubungan dengan sisi gelap kita dapat ditebus dan ditambahkan keoada karunia dan ketrampilan kita yang sudah kita lakukan. Ketika kita mengatasi sisi gelap tersebut, kita kemudian mampu untuk memimpin dengan segala kepenuhan diri kita sebagaimana Tuhan inginkan.
MENGATASI SISI GELAP ANDA
McIntosh dan Rima berkat bahwa cara untuk mengatasi sisi gelap anda adalah dengan:
Anda dapat menggunakan kemampuan anda untuk memimpin pelayanan Kristen dengan menyadari sisi gelap anda, menyerahkannya kenapa Tuhan untuk ditebus dan dikendalikan agar tidak menujukkan keburukannya dalam hidup saya.
Aku mendisiplin tubuhku dan menjadikannya budakku, sehingga, setelah aku memberitakan injil kepada orang lain, aku sendiri tidak ditolak
Paulus -1 Korintus 9:27
Daniel Trihandarkha, M.Th.
Penyerahan Diri yang lebih besar = Berkat yang Lebih Besar
Tak Bhana
Apakah anda rindu melihat lebih banyak lagi bukti kehadiran Allah di hidup anda? Apakah anda rindu melihat lebih banyak mujizat, ketakjuban, dalam keluarga anda dan lingkungan komunitas di sekitar anda? Yang Pasti Saya sendiri Mau. Setelah saya membaca Alkitab belakangan ini perhatian saya tertuju pada Yosua 3:5
“ Yoshua berkata kepada bangsa itu, kuduskanlah dirimu, karena pada hari esok, Allah akan melakukan perbuatan yang ajaib di antara kamu.”
Perbuatan yang Ajaib!, itulah yang ingin ku lihat!
Yoshua dan suku Israel akhirnya tiba di perbatasan Israel, tanah perjanjian. Mereka sedang akan mengalami suatu perjalanan yang baru bersama Tuhan Allah mereka, dan sedang menjadi suatu bangsa yang Tuhan mau. Ada perubahan, ada era yang baru. Hal itu sangatlah menggembirakan, dan bukankah perubahan ini adalah perubahan yang kita inginkan juga? Bahwa Tuhan melakukan hal yang baru di gereja kita, di lingkungan kita, dan pada bangsa kita dalam kehidupan pribadi kita?
Tetapi, sebelum mereka, dan kita sendiri melihat perbuatan yang ajaib ini ada hal yang harus kita lakukan. “Kuduskanlah dirimu” kalimat yang diperintahkan Allah kepada Yoshua. “Kuduskan” adalah sebuah kata lama yang tidak menarik untuk zaman ini, tetapi arti kata ini adalah “dikhususkan/dipisahkan”, “ditahirkan”, berserah kepada Tuhan. Berserah adalah kunci dan benang merah antara yang baru dan yang lama.
Saya sendiri melihat kata “berserah” adalah kata yang menggembirakan karena memberi suatu sinyal kepada saya bahwa Tuhan ingin melakukan lebih dalam hidup kita atau lewat hidup kita. Saya menyadari bahwa Tuhan sedang bekerja untuk hal yang sangat baik. Saya tidak melihat itu sebagai hal yang buruk, ketika cenderung melihat bahwa kita harus meninggalkan sesuatu untuk Tuhan. Tetapi sebagai hal yang positif karena Tuhan meminta lebih maka Dia akan memberikan lebih.
Harley Varley dahulu berkata dalam sebuat percakapan dengan Dwight Moody, “ Dunia belum melihat apakah yang dapat dilakukan oleh seorang pribadi yang dikuduskan sepenuhnya untuk Tuhan”. Kalimat pembicaraan itu begitu mendampaki D.L. Moody, sehingga ia ingin menjadi “Seorang Pribadi” itu. Dia menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada Tuhan dan dia melihat bagaimana Tuhan memakainya dengan luar biasa sebagai seorang penginjil pada abad ke-19 berkotbah di hadapan lebih dari puluhan ribu orang, menyampaikan berita injil dan mendirikan Sekolah Alkitab dan memberi dampak pada generasinya dan generasi selanjutnya. Tetapi dia memulai dari bawah dan pendidikan yang terbatas. Teman sebayanya menolak dia dan pada awalanya dia ditolak sebagai anggota pada gereja lokal karena dia adalah dikenal sebagai orang yang sangat tidak perduli tentang dasar doktrin dan pemahaman. Tetapi Tuhan melihat hatinya dan bagaimana dia berserah. Kita tidak harus menjadi super pintar, penuh karunia, karismatik atau memenuhi pendapat dunia untuk melihat hal yang ajaib, kita hanya perlu “Berserah”. Bukanlah apa yang dapat kita lakukan tetapi apa yang Tuhan dapat lakukan melalui kita. Sebagaimana 1 Korintus 1:27 nyatakan, Tuhan memilih yang bodoh dari dunia untuk mempermalukan yang berhikmat. Tuhan mencari, bejana yang rendah hati, tidak sempurna seperti anda dan saya untuk menunjukkan kemuliaan-Nya. Sebagaimana Mark Batternson tulis dalam bukunya berjudul “All in”, dia berkata “ Anda hanya berjarak satu keputusan saja jauhnya dengan sebuah kehidupan yang jauh berbeda.” Tentu saja kemungkinan keputusan ini adalah keputusan terberat di dalam hidup anda. Tetapi jika anda memiliki keberanian untuk berserah sepenuhnya kepada keAllahan dari Yesus Kristus, anda tidak akan tahu apa yang Tuhan akan lakukan.”
Matius 6:33 menginstruksikan kita untuk “ Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya terlebih dahulu” tetapi kita sering mencari Kerajaan Allah sebagai prioritas ketiga, atau keempat dalam hidup kita. Kemudian kita bertanya-tanya kenapa kita tidak melihat hal-hal yang seharusnya kita lihat dalam perjalanan kita bersama Tuhan, kenapa doa kita tidak dijawab, atau kenapa hidup yang berkelimpahan tidak terjadi. Tuhan meminta segalanya dari kita tidak hanya setengah saja.
Segalanya berarti segala waktu, segala energi , segala gairah, keuangan, talenta, hubungan semuanya berarti semuanya. Kedengaranya ini hal yang susah untuk dilakukan, dan murid-murid Yesus dahulu juga berpikir demikian. Bahkan kenyataanya mereka mempertanyakan kepada Yesus tentang segala hal yang mereka telah tinggalkan. Yesus berkata di Markus 10:29-30.
“ Sesungguhnya Aku berkata kepadamu,” kata Yesus, “tidak ada seorangpun yang meninggalkan rumahnya, sanak saudaranya, atau ibunya atau ayahnya atau anaknya atau ladangnya demi aku dan injil akan gagal menerima seratus kali lipat dari zaman ini: rumah, saudaranya, saudarinya, ibunya, anak-anaknya dan ladanganya- termasuk juga penganiayaan- dan pada masa yang akan datang, hidup yang kekal.”
Tuhan Yesus berjanji bahwa Dia akan memberikan anda ratusan kali lipat untuk apapun yang kita telah korbankan atau tinggalkan dalam hidup ini dan kehidupan yang akan datang. Saya lebih suka menyebutnya sebagai “Upah yang tidak terbayangkan di dunia ini.”
Sejujurnya saya lebih suka memilih hidup yang mudah, dan lebih kepadapikiran untuk menyerah, kalau mendengar kata-kata “pergilah dari zona nyaman” atau pengorbanan sama sekali tidak menarik bagi saya, tetapi saya juga ingin mengubah dunia dan melihat Tuhan melakukan keajaiban-Nya. Saya menyadari saya tidak akan melihat dunia diubahkan kalau saya terus nyaman saja. Tuhan adalah segalanya atau segalanya bukan Tuhan. Mengikuti Kristus adalah panggilan seutuhnya atau tidak sama sekali. Yesus berkata di Lukas 9:23-24 “Siapapun yang menjadi muridku harus menyangkal dirinya dan memikul salib setiap hari dan mengikut aku. Karena barangsiapa ingin menyelamatkan nyawanya akan kehilangan, tetapi siapapun yang kehilangan nyawanya demi aku akan menyelamatkannya.”
Faktanya bahwa Yesus menyerahkan segalanya untuk memberikan keselamatan bagi kita. Dia meninggalkan keilahian-Nya. Dia meninggalkan reputasi-Nya, kenyamanan, kemuliaan-Nya dan pada akhirnya nyawa-Nya. Dia membayar harga yang termahal untuk kemerdekaan kita. C.T Studd, misionaris besar dan seorang pemimpin hebat berkata “Jika Yesus yang adalah Allah, dan Dia mati bagi saya, maka tidak ada pengorbanan yang kita korbankan kepada Dia yang berlebihan.”. Untuk memperoleh semua, maka saya harus menyerahkan semua.
Anda mungkin telah mendengar cerita tentang bagaimana cara untuk menangkap monyet, tetapi tidak ada salahnya kita mendengarnya lagi. Jadi untuk menangkap seekor monye kita taruh makanan dalam toples dengan terbuka celah sedikit. Monyet mungkin berpikir akan mudah untuk mengambil makanan di dalam toples itu, tetapi karena hanya ada celah sedikit di dalam toples, maka tangan monyet yang menggengam makanan itu tidak bisa keluar. Monyet yang rakus tidak bisa mengeluarkan tangannya kalau dia tidak melepas makanan di dalam toples itu. Untuk bebas dari toples itu dia harus melepaskan makanan itu dan tinggalkan di dalam toples. Prinsip yang sama berlaku bagi kita. Untuk memperoleh semua yang Kristus tawarkan, untuk memperoleh kasih dan kemerdekaan kita kadang harus melepaskan sesuatu yang menghalangi kita untuk maju. Hal apakah yang harus anda tinggalkan? Apakah artinya meninggalkan kepahitan yang anda miliki terhadap seseorang? Atau meninggalkan kebiasaan untuk menjadi “Yang paling benar”? Atau meninggalkan perfesionisme dan kecenderungan untuk kecanduan kerja? Atau meninggalkan egoisme dan menunda-nunda pekerjaan? Atau meninggalkan hobi olahraga atau hubungan yang menghalangi anda berbakti di gereja? Jangan pusatkan perhatian anda kepada apa yang harus ditinggalkan, tetapi fokuslah akan apa yang harus anda dapatkan.
Para atlet olahraga profesional memahami apa arti pengorbanan daripada orang Kristen kebanyakan. Mereka memiliki visi atas apa yang akan mereka lakukan untuk menang, yaitu medali emas, kemasyuran, dan mungkin kekayaan dan mereka akan berkorban banyak untuk hal-hal tersebut. Mereka akan meninggalkan makanan cepat saji, meninggalkan kenikmatan, waktu dan berkomitmen segalanya untuk mendapatkan mahkota yang nantinya akan pudar. Mereka akan menunda berpuas diri, dengan harapan mereka akan mendapatkan yang lebih lagi. Bukankah kita sebagai orang Kristen memiliki gairah yang lebih besar lagi dari para atlet ini? Bukankah kita memiliki visi dari Kerajaan Allah yang layak untuk diperjuangkan dengan nyawa sekalipun?
Lebih dari seratus tahun yang lalu terdapatlah sebuah kelompok yang dikenal sebagai Misi “One Way”. Mereka disebut “One Way” atau satu jalan karena mereka tidak akan membeli tiket PP atau membawa koper waktu mereka meninggalkan rumah mereka, tetapi mereka berkemas untuk masuk peti mati dan tidak kembali. Mereka tahu rumah akan ditinggalkan selamanya, ada yang meninggal karena sakit hanya dalam beberapa minggu setelah sampai di tempat di negara asing, sebagian lagi mati sebagai martir, sebagian lagi hidup di desa terpencil seumur hidup mereka. Kenapa? Apa yang menyebabkan mereka ingin berkorban sedemikian rupa? Saya percaya karena mereka memiliki perspektif kekal. Mereka pergi untuk mengabarkan kabar baik kepada orang-orang yang tidak pernah mendengar kabar baik tersebut. Mereka pergi karena orang-orang adalah berharga di mata Allah dan bernilai kekal. Mereka pergi karena mereka seperti Tuhan Yesus melihat sukacita ketika orang-orang tersebut menyembah Tuhan dengan penuh pengharapan dan kasih selama-lamanya. Mereka didorong oleh sebuah kasih dan gairah untuk Kristus.
Sebagaimana ekstrem orang-orang tersebut, saya percaya panggilan untuk memberikan semua untuk Tuhan Yesus tetap sama hingga sekarang. Kita harus hidup dengan cara yang berbeda dengan dunia ini. Dunia berkata, berikan kepadaku! Beri aku kenikmatan!, kekuasaan, ketenaran, namun injil berkata bahwa uang, facebook, kekuasaan dan popularitas akan berlalu. Mari kita melihat lebih dari apa yang kita sibukk lakukan hari-hari ini, dan menyimpan dalam hati firman Tuhan Yesus, untuk memikul salib-Nya setiap hari dan untuk hidup sepenuhnya untuk Dia. Sepertinya tindakan ini di luar kehidupan kita, tetapi sebenarnya kita diciptakan untuk melakukan hal seperti ini. Kita hanya memiliki satu kesempatan dalam hidup untuk membuatnya berarti bagi Tuhan.
Kembali mengutip C.T. Studd, “hidup hanya sekali, cahaya mentari akan berlalu, hanya yang kita lakukan untuk Kristus yang akan tinggal tetap.”
Elisa adalah contoh sempurna dari kehidupan di atas. Dalam 1 Raja-raja 19:21 kita membaca bagaimana Elia memanggil dia untuk mengikut dia dan menjadi nabi Allah dalam masa training. Elisa tanpa keraguan menyembelih sapinya dan membakar hasil bajakannya sebagai sebuah pengorbanan keoada Allah dan dia meninggalkan kehidupan lamanya dan mengikut Elia. Elisa menolak untuk nyaman dan tidak berarti, dia menolak untuk menolak untuk menyerah atas pengejaran akan panggilan Tuhan dan Elisa mendapat urapan porsi ganda. Dia menyerahkan semua untuk memperoleh yang lebih besar lagi.
Apa yang Tuhan panggil terhadap diri anda sehingga kita dapat memperoleh kuasa-Nya dan hadirat-Nya? Terkadang mengejutkan apa yang Tuhan minta dari kita untuk dikorbankan. Banyak orang mendorong saya untuk mengambi masa sabatikal (libur jangka panjang), dan kenyataannya seorang nabi Allah datang dan menyampaikan kepada saya untuk melakukan sabatikal. Tapi saya menolak, saya berkata ini bukan siapa saya dan bukan hal yang biasa saya lakukan. Tetapi apa yang dia katakan tidak pergi dari kepala saya begitu saja. Akhirnya saya menyerah. Saya mengambil libur selama 6 minggu. Saya tidak pernah begini sebelumnya! Saya bertanya kepada Tuhan apa yang saya mesti lakukan selama masa sabat itu. Tuhan menjawab dengan mengundang saya untuk untuk semakin datang mendekat kepada-Nya dan mencari Dia lebih lagi. Ketika saya melakukan itu saya mulai melihat Tuhan dengan cara yang baru, dan lebih lagi menyerahkan diri kepada-Nya. Ketika saya lebih lagi membuka diri saya kepada Tuhan, Dia lebih lagi mengisi diri saya. Pengalaman ini saya percaya mempersiapkan saya untuk fase berikut yang akan datang dalam hidup saya.
Ketika saya melihat ke belakang dalam hidup saya bersama Tuhan saya melihat bahwa hal ini adalah pola yang saya lakukan sejak pertama saya mengikut Yesus. Waktu kunci, adalah masa-masa yang mengubah hidup saya ketika saya menyerahkan hidup saya di hadapan altar Allah. Dalam masa-masa inilah membukakan hal-hal baru dalam Tuhan dalam hidup saya, entah apakah hal yang baru dalam pelayanan atau kasih yang lebih besar lagi dan kesadaran akan Tuhan.
“Sikap menyerahkan diri kepada Tuhan menjadi pintu untuk berkat Tuhan yang lebih besar” adalah untuk semua orang. Berjalan bahkan hingga terpincang-pincang dan melakukan sesuatu melebihi diri kita sendiri demi orang lain dan Tuhan menempatkan diri anda pada posisi di mana Tuhan akan melakukan perbuatan yang ajaib. Ingat ketika seorang anak laki-laki menyerahkan makan siangnya dan dia melihat bagaimana Yesus memberi makan 5000 orang. Bayangkan ketakjuban dan keheranan yang terpancar dari anak ini. Meluangkan waktu untuk menelpon seseorang, atau kita menunda pekerjaan kita untuk menolong orang lain dapat juga menuju kepada sesuatu yang lebih besar bagi mereka dan diri anda. Beberapa saat yang lalu seorang teman sesama hamba Tuhan menghubungi saya untuk bertemu, yang artinya saya harus memutar jauh dari kota saya, yang artinya saya harus mengorbankan waktu saya karena saya sedang sangat sibuk. Akhirnya saya lakukan dengan keraguan, ketika saya berkendara menuju ke sana saya berdoa kepada Tuhan dan saya merasakan kehadiran-Nya. Apa yang saya putuskan untuk korbankan hari itu, saya rasakan bahwa Tuhan berkenan atas “pengorbanan” saya itu. Tiba-tiba saya mengerti bahwa pengorbanan itu memang pantas dilakukan. Saya berdoa tuk hamba Tuhan ini dan mensharingkan firman yang menguatkan dan penuh pengharapan. Saya kemudian menyadari bahwa saya kehilangan karcis parkir saya, dan kalau hilang saya harus membayar $60 atau Rp 720.000,- tetapi ketika saya berbicara kepada tukang parkir tersebut dia membiarkan saya pergi, hal yang mustahil di negara ini itu adalah mujizat. Seandainya saya tidak datang saya mungkin tidak dapat menyaksikan keajaiban tersebut.
Dalam hal-hal seperti itulah yang akan membawa semangat yang barru dan suka cita bagi kehidupan kekristenan kita, dan mengangkat dari yang membosankan ke pada yang penuh petualangan, tetapi jika kita tidak siap untuk mengorbankan semua kepada Tuhan maka kita tidak akan melihat mujizat-Nya yang ajaib.Terkadang kita hanya berjarak satu langkah, satu keputusan jauhnya dari kehidupan yang diubahkan dan penuh dengan hala yang ajaib.
Saya percaya seperti Yoshua dan bangsa Israel kita sedang berada di ujung jalan ketika Tuhan sedang melakukan mujizat bagi kita semua, dan lingkungan sekitar kita melihat kuasa-Nya tapi hal tersebut memerlukan laki-laki dan perempuan untuk menyerahkan semuanya di kaki-Nya dan berani untuk melangkah maju. Mereka adalah orang – orang yang dipenuhi oleh kasih dan gairah untuk Kristus, sepenuhnya dikuduskan seperti C.T. Studd dan D.L. Moody. Sesungguhnya, untuk melihat mujizat yang lebih besar maka diperlukan penyerahan yang lebih besar pula.
Tak Bhana
Tak adalah pendeta senioe dari Church Unlimited yang telah berkembang termasuk di dalamnya 6 kampus di Selandia Baru, Australia dan Tuvalu. Dia menulis dua buah buku dan pelayanannya Running with Fire telah disebarkan dalam siaran-siaran berbagai jaringan.
Daniel Trihandarkha, M.Th.
THE RELIEF
Istilah relief ternyata memiliki arti yang bermacam macam di berbagai bidang. Menurut psikologi relief berarti kelegaan dan kelepasan dari suatu hal yang menekan jiwa.
Menurut dunia seni berarti karya seni dengan mengukir di atas sebuah permukaan sehingga menjadi lebih hidup dengan tonjolan dan lekukan yang dalam.
Kata relief sendiri dalam bahasa Perancis berasal dari kata 'relever' yang artinya melepaskan.
Relief apapun artinya merupakan goresan yang terpatri dalam hidup manusia menjadi kenangan tetapi juga penanda bahwa kisah itu pernah ada. Semakin kasar goresan itu, menjadikannya semakin kontras dan indah.
Tuhan juga mencatat buku kehidupan kita dalam catatan harian- Nya. Dia mengukir, memahat, membentuk suatu karya yang indah melalui setiap aspek hidup manusia. Baik canda , tawa , duka, emosi, masalah yang pelik dan situasi yang sulit. Tapi semua itu dilegakan... di ..relief.. kan dengan ajakanNya. Bahwa semua yang letih lesu dan berbeban berat, mari datang kepadaKu maka Aku akan memberimu kelegaan.
Guratan relief hidup itu memberikan kelepasan untuk bisa menikmati keagungan karyaNya.
The term relief turns out to have various meanings in various fields. According to psychology, relief means relief and release from something that suppresses the soul.
According to the world of art, it means a work of art by carving on a surface so that it becomes more alive with deep protrusions and indentations.
The word relief itself in French comes from the word 'relever' which means to let go.
Any relief means it is a scratch that is engraved in human life as a memory but also a sign that the story ever existed. The rougher the stroke, the more contrast and beautiful it becomes.
The Lord also records the book of our lives in His diary. He carves, sculpts, forms a beautiful work through every aspect of human life. Both jokes, laughter, sorrow, emotions, complicated problems and difficult situations. But all of that was relieved... in ..relief... right by His invitation. That all who are weary and heavy laden, come to Me and I will give you rest.
These life relief strokes provide freedom to be able to enjoy the greatness of His work.
By. Dr. Hery Susanto
BELIEVE AND TRUST
Belief involves total self-integrity and a willingness to make sacrifices for what is believed. The phrase "I believe in you" is easy to say but hard to account for. If someone believes in something, it means that he must entrust his life to what he believes. Meanwhile, when someone dares to say “I entrust this to you”, it means that there are logical consequences to maintaining that trust and basing what they do with an attitude of willingness to risk themselves for the sake of integrity.
When Jesus asks us to trust Him in the sense of asking us to entrust or entrust our lives to Him. John 20:31, says: "...but all that is written here has been written down, so that you may believe that Jesus is the Messiah, the Son of God and that by faith you may have life in his name."
In everyday life, it is increasingly difficult and rare to find a truly trustworthy person. Why is that? Because the value of integrity is fading and is not a priority in achieving life. The condition of trusting and trusting should be eternal. The problem is that many contemporary ethical values are always changing and are considered more relevant than conservative ones. Believing in success, position, economy, health, etc. is a contemporary side effect. What is eternal is to believe in God as the provider, initiator, and guide so that what is God's will is realized in this world. Therefore, let us direct our minds to God, trusting Him with all our hearts. Matthew 6:33, "But seek first the kingdom of God and his righteousness, and all these things will be added to you."
Let's learn to believe and trust.
PERCAYA DAN MEMPERCAYAKAN
Percaya melibatkan keseluruhan integritas diri dan kesediaan untuk berkorban atas apa yang dipercayai. Kalimat “saya percaya padamu” memang mudah untuk dikatakan tetapi berat untuk dipertanggungjawabkan. Jika seseorang percaya (believe) kepada sesuatu berarti dia harus mempercayakan (trust) hidupnya kepada apa yang dipercayainya. Sedangkan ketika seseorang berani berkata “saya percayakan ini kepadamu” berarti ada konsekwensi logis untuk menjaga kepercayaan itu dan mendasarkan apa yang dikerjakan dengan suatu sikap mau mempertaruhkan diri demi sebuah integritas.
Ketika Yesus meminta kita percaya kepada-Nya dalam arti meminta kita untuk entrust atau mempercayakan hidup kita kepada-Nya. Yohanes 20:31, mengatakan: “… tetapi semua yang tercantum di sini telah dicatat, supaya kamu percaya, bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah, dan supaya kamu oleh imanmu memperoleh hidup dalam nama-Nya.”
Dalam kehidupan sehari-hari, semakin sulit dan jarang ditemukan orang yang sungguh-sungguh dapat dipercayai. Mengapa demikian? Karena nilai integritas semakin memudar dan tidak menjadi prioritas dalam pencapaian hidup. Kondisi percaya dan mempercayakan seharusnya bersifat kekal. Persoalannya adalah banyaknya nilai-nilai etika kontemporer yang selalu berubah dan dianggap lebih relevan daripada yang konservatif. Percaya pada kesuksesan, jabatan, ekonomi, kesehatan, dan lain-lain merupakan efek sampingan yang kontemporer. Sedangkan yang kekal adalah percaya kepada Tuhan sebagai penyedia, pemrakarsa dan pembimbing agar apa yang menjadi kehendak Allah terwujud di dunia ini. Oleh sebab itu marilah kita mengarahkan pikiran kita kepada Tuhan, percaya kepadaNya dengan sepenuh hati. Matius 6:33, “Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.”
Mari kita belajar untuk percaya dan mempercayakan.
By. Dr. Hery Susanto
"Musuh yang Baik"
Dr. Julianto Simanjuntak
_"Sadarlah dan berjaga-jagalah! Lawanmu, si Iblis, berjalan keliling sama seperti singa yang mengaum-aum dan mencari orang yang dapat ditelannya"_
Luar biasa firman di atas, Rasul Petrus memberi peringatan yang tegas. Juga mengajak kita "melawan Iblis dengan iman yang teguh". Kenapa?
Umumnya musuh atau pembenci kita senang jika melihat kita gagal, hancur, susah dll. Dia akan iri melihat kita senang, puas dan bahagia.
Tapi ada *satu Musuh* yang justru senang saat kita puas dengan kenikmatan yang ditawarkannya. Dia menyediakan pelbagai kesenangan, kesempatan atau peluang kepada kenikmatan. Dia tahu manusia sangat suka dipuaskan, tapi tidak memberi tahu apa batas dan konsekuensinya.
_Keinginan daging dan keinginan mata_ adalah jerat yang disiapkan Iblis untuk kita. Dia kreatif dan punya banyak cara. Termasuk memberi peluang menikmati _kesenangan yang membawa kepada maut_.
Karena kesenangan itu orang yang terjerat di dalamnya berani melawan siapapun yang menghambat untuk mendapatkan peluang atau kenyamanan Itu. Apakah itu orangtua, keluarga, atasan, atau sahabat dsb. Semua kita anggap musuh, jika menghambat kita menikmati kesenangan tsb
"Kebaikan" Iblis yang menyediakan kesenangan dan keinginan dunia tentu *tidak gratis*. Ada harga yang harus kita bayar. Termasuk mengubah kepribadian kita yang tadinya tulus menjadi licik. Jujur menjadi pembohong. Produktif menjadi hanya pura-pura bekerja. Culas.
Dulunya kita bisa marah melihat orang mencuri, tapi kita malah menjadi suka mencuri apakah mencuri kesempatan secara curang bahkan mengambil hal atau milik orang lain.
Cilakanya, kepekaan kita menjalani hilang karena kesenangan tsb. Kenikmatan itu membius, sama seperti seorang remaja yang candu dengan game onlinenya, atau pecandu narkoba yang akal sehatnya menjadi hilang. Kita menjadi tidak peduli dengan aturan atau etika atau kewajiban-kewajiban kita.Waspadalah bukan hanya dengan musuh yang kasat mata, tapi terutama terhadap Iblis yang kata Rasul Petrus sedang berjalan-jalan mencari mangsa yang dapat ia telan. Hidup sesungguhnya peperangan rohani.
FirmanNya *"lawanlah dia dengan iman yang teguh"* .
Kawan....Kita tidak sendiri, saudara kita lainnya juga merasakan penderitaan yang sama. Tentu tidak mudah, kita akan susah saat menolak kesenangan yang Setan tawarkan. _Tapi setelah itu kita akan menikmati sukacita sejati dan pertumbuhan lewat karya Roh Kudus yang menyempurnakan karya keselamatan yang dikerjakan Tuhan Yesus di atas kayu salib_.
Oleh : Dr. Hery Susanto, M.Th.
Istilah Prolegomena berasal dari bahasa Yunani pre- legein yang berarti sebelum berkata-kata. Artinya adalah sekumpulan pemikiran yang menjadi inti dari apa yang akan dikatakan selanjutnya. Secara sempit sering diartikan sebagai sebuah pendahuluan atau pengantar suatu tulisan atau perkataan.
Nah dalam praksisnya, prolegomena dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari ketika berkomunikasi dengan seseorang untuk memberikan gambaran tentang siapa orang itu sesungguhnya. Sebagai contoh: ketika ada seseorang berbicara dengan anda dan ungkapan yang dia ekspresikan adalah tentang harta, kekayaan, prestasi, jabatan, dapat dengan sementara kesan yang ditangkap bahwa orang tersebut menaruh nilai-nilai yang tinggi pada hal-hal seperti itu, kepemilikan, kedudukan, kehormatan. Sehingga dapat diprediksi bahwa orang tersebut akan tertarik jika diajak untuk berbincang tentang hal tersebut.
Demikian juga jika seseorang berbicara tentang keluhan beratnya hidup dan ketidak berdayaannya, maka bisa diprediksi pembicaraan selanjutnya akan mengarah kepada rasa frustasi dan kesedihan. Nah lalu apa yang akan dikatakn oleh seorang yang optimis? Prolegomenanya adalah keceriaan, semangat, inspiratif dan hal lainnya. Jadi tanpa berlama-lama kita bisa mempelajari kesan pertama yang ditangkap dari diri seseorang dari pilihan kata dan caranya bertutur.
Lalu bagaimana sebagai seorang Kristen? Prolegomena Kristen sangat jelas bahwa Allah yang menciptakan manusia dan dunia ini. Manusia jatuh dalam dosa dan hubungan antara pencipta dan yang diciptakan rusak. Hanya sang Pencipta yang bisa memulihkan hubungan yang rusak itu. Allah berinisiatif untuk menyatakan kehendak-Nya dan akhirnya mengutus anak-Nya yang tunggal untuk menebus dosa manusia. Manusia yang percaya kepadaNya akan diselamatkan. Dari prolegomena tersebut maka dapat dikembangkan ke dalam berbagai pemikiran teologis, biblical, praksis, dan lain-lain.
Jadi betapa pentingnya prolegomena itu untuk meletakkan dasar dan intisari dari semua konsep atau pemikiran kita yang lebih menyeluruh dan integral.
Selamat merenungkannya.
Oleh: Dr. Hery Susanto, M.Th.
Andaikan suatu pagi, anda sedang dalam perjalanan menuju kantor dan seseorang berteriak menghina anda. Segera setelah anda mendengar hinaan darinya, pikiran anda berubah dari kondisi biasanya. Anda tidak merasa senang. Anda merasa marah dan tesinggung. Anda ingin menghajarnya. Beberapa hari kemudian seseorang datang ke rumah anda dan memberitahukan, “Hei, orang yang mengumpat anda hari itu, adalah orang gila! Sudah bertahun-tahun! Dia mengumpat setiap orang juga. Tidak ada yang memperhatikan ucapan orang itu.” Begitu mendengar hal ini, seketika itu juga anda merasa lega.
Kemarahan dan rasa jengkel yang selama ini anda pendam di dalam diri hanyut sepenuhnya. Mengapa? Karena sekarang anda tahu kenyataannya. Sebelumnya, anda tidak tahu. Anda mengira orang tersebut adalah normal, jadi anda kesal terhadapnya dan itu membuat anda menderita. Akan tetapi, begitu anda menemukan kenyataannya, segala sesuatunya berubah, “Oh, ternyata dia gila! Segala sesuatu menjadi jelas!”
Apabila anda mengetahui hal ini, anda merasa lega karena anda memahaminya sendiri. Setelah tahu, anda mem- biarkannya. Jika tahu kenyataannya, anda akan melekat pada peristiwa itu. Apabila anda menyangka orang yang menghina anda adalah orang normal, anda mungkin akan membunuhnya. Akan tetapi setelah menemukan kenyataannya, bahwa ia gila anda merasa lebih lega. Inilah pengetahuan dan kenyataan.
Seseorang yang melihat dengan KEJERNIHAN dan KESADARAN akan mempunyai pengalaman yang sama. Kemelekat-an, kebencian dan khayalan akan lenyap dengan cara yang sama pula. Selama kita tidak menyadari hal ini, kita berpikir, “Apa yang harus saya lakukan? Hidup saya penuh dengan ketamakan dan kebencian.” Ini bukan pengetahuan yang benar. Sama halnya dengan waktu kita sangka bahwa orang gila bebas dari rasa khawatir itu. Tidak ada seorangpun yang bisa menunjukkan anda hal ini. Hanya pada saat pikiran sadar, kemelekatan bisa dicabut dan dilenyapkan.
Kita semua adalah keturunan manusia pertama, Adam yang sudah jatuh ke dalam dosa. Sehingga kecenderungannya selalu membuahkan dosa karena benih itu telah diwarisi dari orang tuanya yang juga memiliki kodrat manusiawi yang berdosa. Itulah sebenarnya yang ditulis di dalam Alkitab.
Ketika kita mendapati bahwa dunia ini penuh dengan ketidakbenaran, kecurangan, kelicikan, sebenarnya jika tahu bahwa hal itu adalah akibat dari kesalahan manusia yang telah memilih hal yang salah dengan kehendak bebasnya, maka kita belajar untuk dapat memakluminya. Termasuk juga memaklumi orang yang menyakiti kita, melukai kita, dan menghancurkan kita.
Mengapa harus memaklumi? Karena itulah kecenderungan manusia. Paulus sendiri menyamakan dirinya ketika belum bertobat sebagai orang yang sama saja dengan orang lain yang belum dipimpin Roh Kudus. Roma 7:18 mengatakan,” Sebab aku tahu bahwa di dalam aku, yaitu di dalam aku sebagai manusia, tidak ada sesuatu yang baik. Sebab kehendak ada di dalam aku, tetapi bukan hal berbuat apa yang baik yang aku lakukan.” Itulah gambaran Paulus tentang dirinya sendiri, dan pesannya untuk semua orang yang masih mengandalkan kekuatan dan kemampuan dirinya sendiri, ternyata tidak mampu berbuat baik. Namun karena belas kasihan Tuhan kepada dirinya melalui karya Yesus di atas kayu salib, Paulus dimampukan untuk melakukan kehendak Allah oleh karya-Nya (Roma 7:25).
Alih-alih kita menjadi jengkel, tidak suka dengan orang yang kita tidak sukai atau orang yang merugikan kita, malahan kita harus tetap mengasihi mereka agar mereka terlepas dari siklus manusia alamiah yang cenderung berdosa dan tidak memiliki damai sejahtera sejati. Yesus datang kepada oran berdosa, dan demikian pula kita murid-Nya, juga terpanggil untuk memberitakan Injil-Nya atau Kabar Baik dari-Nya. Bahkan kita juga harus memohon agar memiliki hati seperti hati-Nya yang selalu ingin menarik orang berdosa kembali kepada-Nya dengan penuh cinta.
Kekristenan sejati bukan sekedar menjadi warga gereja tertentu, beribadah dengan cara tertentu, melayani dan sebagainya. Terlebih lagi adalah menggeser pikiran dan cara hidup lama, digantikan dengan pikiran dan perasaan Kristus (Fil. 2:5). Sehingga kekristenan itu menjadi kehidupan yang nyata di dalam segi kehidupan baik jasmani maupun rohani. Ukurannya bukan sekedar seberapa rajin beribadah di hari Minggu, atau dalam pelayanan saja, namun melingkupi semua aspek kehidupan dengan hati yang sadar.
Seorang pilot pesawat tempur menjelaskan bahwa pesawat membutuhkan angin berkecepatan 56 km per jam untuk dapat lepas landas pada landasan pacu yang pendek. Untuk mencapai kecepatan angin yang stabil ini, kapten akan mengarahkan kapal induk untuk melaju melawan arah angin. “Bukankah angin itu seharusnya datang dari belakang pesawat?” tanya saya. Sang pilot menjawab, “Tidak. Pesawat harus terbang menantang angin. Hanya itu satu-satunya cara agar pesawat dapat terangkat.”
Allah memanggil Yosua untuk memimpin bangsa-Nya “menantang angin” yang menanti mereka di tanah perjanjian. Untuk itu, Yosua membutuhkan dua hal. Dari dalam dirinya, Yosua perlu “sungguh-sungguh yakin dan berani” (Yos. 1:7 BIS); dan dari luar, ia memerlukan tantangan. Hal itu termasuk menghadapi tugas memimpin ribuan orang Israel setiap hari, menghadapi kota-kota yang dikelilingi tembok (6:1-5), kekalahan perang yang memilukan (7:3-5), penjarahan yang diperbuat Akhan (7:16-26), dan perang yang berkepanjangan (ps. 10–11).
Angin yang bertiup menerpa diri Yosua akan mengangkat kehidupannya, selama dorongannya itu datang dari perintah Allah. Allah memerintahkan Yosua: “Bertindaklah hati-hati sesuai dengan seluruh hukum; . . . janganlah menyimpang ke kanan atau ke kiri, . . . renungkanlah itu siang dan malam, supaya engkau bertindak hati-hati sesuai dengan segala yang tertulis di dalamnya, sebab dengan demikian perjalananmu akan berhasil dan engkau akan beruntung” (1:7-8).
Apakah Anda bertekad mengikuti jalan-jalan Allah, apa pun risikonya? Kalau begitu, hadapilah tantangan yang ada. Terbanglah tanpa gentar menantang angin dan lihatlah bagaimana semangat Anda melambung tinggi.
Oleh: Mike Wittmer (sumber: ODB)
Renungkanlah
Mengapa tantangan dibutuhkan untuk mencapai keberhasilan dalam hidup? Bagaimana Allah dapat memakai masalah yang sedang Anda hadapi untuk mengangkat Anda?
SPIRITUAL DISTRACTION
Peter and the other disciples were continually disoriented to God. While Jesus was concerned about one thing, it seems that the disciples were always distracted by something else. In order to help his three closest disciples better focus on His imminent sacrifice on the cross, Jesus took them up to the Mount of Transfiguration. There, Jesus was transfigured into a glorious state and was joined by Moses and Elijah, two of history’s mightiest men of God. The disciples, however, were asleep! At one of the most profound moments in history, the disciples were more interested in sleep than they were in praying with the Son of God.
When the disciples awakened, they became distracted again. This time, Peter announced his plans to build three tabernacles. The disciples were more concerned with what they could do for God than the incredible work of redemption God was about to accomplish through His Son. Finally, God removed everything from the disciples’ sight but Jesus. “This is My Beloved Son, in whom I am well pleased. Hear Him!”
It is so easy to become spiritually distracted. Do you find yourself focusing on everything else but Christ and the work He is doing around you? Are you so eager to ‘get to the work’ that you have not yet clearly heard what is on God’s heart? Does the father need to remove from your life those things that are proving to be a distraction to you? Do you need to refocus on Jesus?
GANGGUAN ROHANI
Petrus dan murid-murid lainnya terus menerus kehilangan arah kepada Tuhan. Sementara Yesus memikirkan satu hal, tampaknya para murid selalu teralihkan oleh hal lain. Untuk membantu tiga murid terdekatnya agar lebih fokus pada pengorbanan-Nya yang sudah dekat di kayu salib, Yesus membawa mereka ke Gunung Kemuliaan. Di sana, Yesus berubah rupa dalam keadaan yang mulia dan bergabung dengan Musa dan Elia, dua hamba Allah yang paling perkasa dalam sejarah. Namun para murid, sedang tidur! Pada salah satu momen paling mendalam dalam sejarah, para murid lebih tertarik pada tidur daripada berdoa dengan Anak Allah.
Ketika para murid terbangun, mereka menjadi terganggu lagi. Kali ini, Petrus mengumumkan rencananya untuk membangun tiga kemah. Para murid lebih peduli dengan apa yang dapat mereka lakukan untuk Tuhan daripada pekerjaan penebusan yang luar biasa yang akan Tuhan selesaikan melalui Anak-Nya. Akhirnya, Tuhan menyingkirkan segala sesuatu dari pandangan para murid kecuali Yesus. “Inilah Putra Terkasih-Ku, yang kepadanya Aku berkenan. Dengarkan Dia!”
Sangat mudah untuk menjadi terganggu secara rohani. Apakah Anda mendapati diri Anda berfokus pada segala sesuatu selain Kristus dan pekerjaan yang Dia lakukan di sekitar Anda? Apakah Anda begitu bersemangat untuk 'mulai bekerja' sehingga Anda belum mendengar dengan jelas apa yang ada di hati Tuhan? Apakah Bapa perlu menyingkirkan dari hidup Anda hal-hal yang terbukti mengganggu Anda? Apakah Anda perlu memfokuskan kembali pada Yesus?
-HERY SUSANTO-
Admin March 19, 2022 Pojok Renungan Leave a comment 51 Views
Iklan shampoo yang diperagakan oleh orang-orang cantik membuat pemirsa televisi terbius oleh bujuk rayunya agar bukan saja membeli shampoo tetapi juga menjadi seperti artis cantik itu.
Seorang penyanyi yang fenomenal seperti Elvis Presley, John Lennon, Agnez Monica, dan masih banyak lagi menjadi trend pada eranya dalam hal gaya rambut, cara bernyanyi, trend busana dan lain sebagainya. Orang menjadi senang mengikuti gaya orang lain sampai kehilangan dirinya sendiri.
Salah satu hal yang tidak mudah dijalani oleh manusia adalah menjadi diri sendiri. Sepertinya bagi banyak orang, hidup menjadi orang lain adalah hal yang wajar bahkan ketika melakukannya mereka tidak sadar bahwa mereka sedang berusaha menjadi orang lain.
Dalam usahanya tersebut sampai- sampai ada yang membenci dirinya sendiri. Apapun bentuknya, ketika seseorang tidak menjadi dirinya sendiri, itu adalah hal yang tidak baik, tidak benar dan meleset dari tujuan mengapa manusia diciptakan.
Di dalam dunia yang kompetitif, banyak orang berlomba untuk menaikkan jenjang karir agar lebih profesional dan bekerja dengan baik, orang terinspirasi oleh orang sukses lain, aturan kerja dan lainnya membuat dirinya berubah, bukan lagi yang alami. Kebanyakan manusia memilih untuk ‘bermain aman’ daripada mengambil resiko ‘tidak aman’ dengan menjadi dirinya sendiri.
Dapatkah Anda membayangkan jika diantara sepuluh sahabat Anda, hanya ada satu, yaitu Anda saja yang berbeda ketika sebuah pendapat atau sikap ditanyakan? Setidaknya ada pergulatan batin untuk mengambil keputusan, untuk memilih yang aman dan nyaman atau yang benar dan beresiko.
Pribadi yang menjadi diri sendiri adalah menjadi berbeda dengan orang lain, dan untuk mewujudkan itu dibutuhkan keberanian yang besar. Bagi seorang pemimpin otoriter, mereka akan mencari orang-orang yang menurut dan mau dibentuk sesuai keinginannya. Sebagai contoh adalah kepemimpinan Hitler di Jerman. Dia menghendaki hanya ras Jerman yang bertahan dan unggul dengan membasmi ras-ras yang lain karena dianggap akan mencemarkan ras Jerman.
Semua orang dicetak untuk menjadi sama dengan cita-citanya. Manusia menjadi tidak asli atau orisinil lagi karena dia menjadi orang lain. Semestinya manusia terlahir dengan kekhasannya yang alami, bertumbuh dewasa dalam kealamiannya dan mati juga tetap alami.
Resiko apa yang harus diambil untuk menjadi diri sendiri? Kemungkinan kehilangan teman, kehilangan jabatan, kehilangan kesempatan, bahkan bisa kehilangan orang yang terdekat atau malah mungkin bisa mati.
Para tokoh yang terkenal karena berani menjadi berbeda misalnya: Albert Einstein ahli Fisika, Thomas Alfa Edison penemu bolam lampu, Leonardo Da Vinci, seorang pemahat, pelukis. Mereka orang-orang yang berhasil menjadi dirinya sendiri walaupun mereka memiliki banyak kekurangan di aspek yang lain jika dibanding dengan orang lain.
Kemauan keras untuk menjadi diri sendiri yang berani berbeda dengan yang lain membuat mereka mampu menghasilkan karya- karya yang besar. Bayangkanlah jika orang hanya berani mengekor, menjadi penggemar bahkan fans berat seseorang hingga mati-matian hendak meniru idolanya, maka hidupnya justru tidak akan menghasilkan apa-apa.
Di dalam Alkitab ditunjukkan kisah orang-orang yang sangat mencintai Tuhan dan menjadi diri sendiri. Contohnya: Daniel, yang bersedia untuk berbeda dengan orang pada umumnya.
Daniel 1:8a mengatakan, ”Daniel berketetapan untuk tidak menajiskan dirinya dengan santapan raja dan dengan anggur yang biasa diminum raja.” Pada ayat 16, Daniel memilih untuk makan sayur daripada makanan kehormatan yang biasa disantap raja.
Kisah ini menarik karena Daniel memiliki keberanian untuk berbeda dengan lingkungannya, dan meninggalkan yang enak-enak dan istimewa, bahkan hidangan kehormatan itu dapat meningkatkan keakraban yang menambah kehangatan, persahabatan antara Daniel dan rekan pejabat lainnya dan raja. Daniel mengambil sikap tegas untuk menolak tawaran raja, no way!
Berbeda lagi Yohanes pembaptis yang eksentrik, tidak mengenakan pakaian yang selayaknya sebagai seorang anak imam, dan makan selayaknya anak imam. Ia mengenakan jubah bulu onta, ikat pinggang kulit dan makanannya madu hutan (Matius 3:4), namun suara lantangnya berani diserukan di padang gurun sebagai pembuka jalan bagi Yesus.
Bagaimana dengan kita?
Di dalam 2 Korintus 5:17 dikatakan bahwa kita adalah ciptaan baru di dalam Tuhan. Kita harus berbeda dengan pola pikir dunia ini meskipun kita tidak bisa lepas dari mereka. Sedangkan di dalam lingkup ‘rohani’ kita juga perlu mendengar panggilan, memiliki visi dan kreativitas yang diyakini dapat menyenangkan hati Tuhan dan memperluas kerajaan-Nya dengan keaslian kita, jangan ragu! Jika Tuhan berkenan, maka Dia akan menyertai kita untuk menjadi diri sendiri.
Pepatah mengatakan: ONE MAN WITH GOD IS MAJORITY.
LEPASKAN ANAK, TAUTKAN PADA TUHAN
20 JULI 2022 OLEH CHARLOTTE PRIATNA (dikutip dari sumber ODB)
Ketika orangtua ditanya, “Dari level 1-10, prioritas apa yang paling penting yang ditetapkan pada anak?” Seorang ibu menjawab dengan sangat yakin, “Bagi saya, nomor satu adalah mengenal dan takut akan Tuhan, berikutnya etika dan karakter, diikuti kesehatan, baru pendidikan.”
Wow, saya ingin memberikan aplaus untuk jawaban ibu yang bijak ini. Biasanya prioritas-prioritas yang ditetapkan orangtua fokusnya adalah untuk mendukung anak-anak mencapai keberhasilan atau kesuksesan dalam hidupnya di masa depan.
Namun, marilah kita berpikir sejenak.
Orangtua selalu berpikir bahwa masa depan anak adalah nanti kalau dia sudah dewasa. Padahal, kita tahu tidak sedikit anak yang sudah dipanggil Tuhan terlebih dahulu sebelum mereka dewasa. Pada hakikatnya, masa depan seperti apa yang kita janjikan kepada anak sehingga kita begitu berambisi meraihnya?
Apakah Orangtua Boleh Berambisi tentang Masa Depan Anak?
“Bolehkah orangtua berambisi untuk masa depan anaknya? Karena semua orang kan pasti ingin anaknya berhasil di masa depan?” Pertanyaan ini sering dilontarkan oleh orangtua masa kini yang selalu ingin mempersiapkan masa depan yang lebih baik bagi anaknya.
Ambisi yang Tuhan taruh di dalam diri kita adalah ambisi Kristus. Ambisi tersebut membuat kita bersemangat dan antusias karena kita tahu bahwa semua yang kita lakukan, kita lakukan untuk Kristus. Ambisi ini bukanlah ambisi biasa, juga bukan selfish ambition yang digerakkan oleh ego orangtua. Ambisi seperti inilah yang seharusnya dimiliki orangtua ketika memandang keberhasilan anak di masa depan.
Dengan ambisi yang benar, pandangan orangtua Kristen akan berbeda sekali dengan pandangan dunia mengenai keberhasilan seorang anak. Dunia menetapkan bahwa ukuran keberhasilan bagi seorang anak adalah kalau dia mendapat pasangan hidup yang ideal, menikah, memiliki keturunan, punya gaji besar, hidup mapan, pendidikan yang kalau bisa mencapai S3, menjadi orang terkenal dan berpengaruh, dsb. Tanpa disadari, standar tersebut telah menjadi impian orangtua juga, dan pada akhirnya ikut membentuk harapan orangtua terhadap anak. Kalau semua itu bisa diraih, bagus.
Namun definisi keberhasilan yang diajarkan firman Tuhan bukan hanya tentang kesuksesan semata, melainkan apakah semua pencapaian itu dapat memperkenankan hati Tuhan, sang Perencana Agung manusia. Mazmur 1:3 (TB) menyatakan bahwa orang yang berhasil itu adalah “seperti pohon, yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya, dan yang tidak layu daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil.”
Ayat ini bukan berbicara tentang pohonnya. Jika dikorelasikan dengan keberhasilan, ayat ini bukan berfokus pada anak atau orangtuanya, melainkan pada sumber kehidupan itu sendiri. Pohon itu bisa menghasilkan buah pada musimnya dan daunnya tidak menjadi layu, karena ia tertanam di dekat aliran air. Air itulah sumbernya, TUHAN sendiri itulah sumber segala pencapaian dan keberhasilan. Jika tidak melekat pada Sumber-nya, maka tidak akan menghasilkan buah dan bahkan menjadi layu.
Dapatlah dikatakan bahwa definisi berhasil itu bukan lagi mengenai pencapaian atau having. Keberhasilan itu adalah tentang being. Ini bukan pencapaian seperti yang dunia tawarkan, melainkan lebih mengenai manusianya, apakah kita berkenan di hadapan Tuhan atau tidak.
Kita perlu menyadari bahwa masa depan anak-anak kita ada dalam konteks kekekalan. Karenanya, masa depan yang perlu kita persiapkan bagi anak adalah masa depan yang dapat menjawab pertanyaan: “Apakah anak kita ada bersama dengan Tuhan?”
Mari kita mengambil contoh keberhasilan Yusuf. Sebagian besar kisah hidupnya yang dramatis itu dilalui sebagai budak. Meski sebagai budak, ia disayang oleh Potifar, tuannya. Namun, rupanya ia juga di”sayangi” oleh istri Potifar, dan hal itu malah menjadikannya seorang budak yang dijebloskan ke penjara sebagai akibat dari fitnahan istri Potifar. Proses hidupnya setelah keluar dari penjara juga masih panjang, sampai akhirnya Yusuf dipakai Tuhan untuk memelihara hidup tidak hanya Mesir saja, tetapi juga Israel. Hal paling penting yang tampak dalam kehidupan Yusuf adalah ia terus melekat pada Allah. Ia tetap mempercayai Allah sebagai Perancang jalan kehidupan manusia, termasuk dirinya. Tuhan sendirilah yang membuat segala sesuatu yang dikerjakan Yusuf berhasil.
Orangtua perlu menyadari bahwa keberhasilan seorang anak memiliki dua sisi mata uang yang bisa membawanya pada “pencapaian tertinggi” sekaligus “ancaman tertinggi”. Bagaimana jadinya jika ketika anak sudah mencapai kekayaan, kepandaian, kesuksesan, serta memberi pengaruh yang sangat besar pada orang-orang di sekitarnya, tetapi kemudian dia menjadi sangat sombong sampai-sampai melupakan Allah sebagai sumber keberhasilannya? Bagaimana jika di puncak kesuksesannya ia berkata, “Aku tidak butuh Tuhan lagi.” Apakah itu masih bisa disebut sebagai keberhasilan? Apakah itu yang kita inginkan bagi anak-anak kita?
Semua keberhasilan itu sampah jika dibandingkan dengan kemuliaan Kristus. Rasul Paulus sendiri pernah mengatakan hal yang demikian dalam Filipi 3:8 (TB): “Malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia dari pada semuanya. Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus.” Semua pengaruh, jabatan, dan kekuasaan manusia itu akan hilang kilaunya jika dihadapkan pada cahaya kemuliaan Allah. Semua keberhasilan baru bernilai jika itu berada pada tempat yang tepat, yaitu di dalam Kristus.
Seperti keberhasilan seorang anak, maka perspektif orangtua tentang masa depan anak juga seperti dua sisi mata uang—perspektif dunia di sisi yang satu dan perspektif kekekalan di sisi yang lain. Hanya ada dua kecenderungan, yaitu mengasihi dunia atau mengasihi Allah. Jika kita mengasihi dunia maka tidak akan ada kasih kepada Bapa.
Matius 6:33 menyatakan, “Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.” Hal yang terutama adalah mencari Tuhan terlebih dahulu, mengasihi-Nya dan hidup berdekatan dengan Dia. Jika ada berkat berupa kesuksesan, kepandaian, kekayaan, keberhasilan, masa depan cemerlang, semua itu adalah bonus, sesuatu yang ditambahkan ketika kita sudah hidup dekat dan di dalam Tuhan.
Oleh karena itu, sebaiknya fokus orangtua bukan pada “bonus”-nya, melainkan pada Tuhan sendiri. Penting bagi orangtua untuk melepaskan anak untuk menikmati tumbuh kembangnya, proses belajarnya, perjuangan hidupnya, dan menautkannya pada Tuhan. Ini dapat diibaratkan seperti seorang ibu yang menggandeng anak di sebelah kiri dan di sebelah kanannya ia berpegang pada tangan Tuhan. Dalam perjalanannya mengasuh anak, sang ibu perlahan mundur sambil menautkan tangan anak dalam genggamannya yang satu ke tangan Tuhan dalam genggamannya yang lain. Dengan demikian, sang anak pun akan mengalami sendiri perjumpaan dengan Tuhan, mengasihi-Nya dan mengalami kehadiran-Nya.
Namun, bagaimana jika dalam perjalanan meraih keberhasilan di masa depan itu, anak mengalami banyak hambatan dan seolah menemui jalan buntu? Masih banyak orangtua yang mengkhawatirkan ini-itu. Ada yang khawatir jika nanti anaknya tidak mendapat pekerjaan tetap, Ada juga yang mengkhawatirkan masalah kesehatan anak, jodoh yang tepat, momongan, karier yang sesuai harapan, dan lain sebagainya. Semua ini diperburuk dengan masyarakat kita yang memiliki kecenderungan untuk menghakimi dan mencap gagal orang-orang yang belum menikah, belum punya anak, belum punya pekerjaan, dan belum belum lainnya. Padahal belum tentu rencana Tuhan untuk seorang anak akan sama persis dengan harapan masyarakat pada umumnya.
Kitab Injil pernah menuliskan sebuah kisah tentang seorang yang buta sejak lahir. Murid-murid Tuhan Yesus mempertanyakan apakah si anak buta karena dosa orangtua ataukah karena dosanya sendiri? Yesus menjawab bahwa itu bukan karena dosa orang buta itu ataupun orangtuanya, melainkan karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia. Apa yang dilihat sebagai kegagalan oleh dan dalam diri manusia, justru sedang memenuhi rencana Allah. Bahwa melalui dia karya Allah dinyatakan dan nama Tuhan dimuliakan. Kita ini seumpama display-nya Tuhan, kita bisa dipakai Allah untuk menyatakan kemuliaan-Nya.
Jika kita menengok kembali pada komitmen di tahun-tahun awal pernikahan, apa visi kita ketika kita ingin memiliki anak? Adakah timbul suatu kesadaran bahwa anak yang kita miliki sekarang ini bukanlah milik kita sepenuhnya, melainkan milik Tuhan?
Kita ini adalah penatalayan dan Tuhan itulah pemilik anak. Dengan demikian, apa pun yang terjadi selama proses pengasuhan, kita perlu sering-sering bertanya dan meminta petunjuk dari Tuhan.
Namun, kenyataannya banyak dari kita sebagai orangtua muda sering salah bertanya. Bukannya bertanya kepada Tuhan, kita malah bertanya kepada anak: “Nak, kamu cita-citanya pengen jadi apa?”
Dalam satu kesempatan anak bisa saja menjawab ingin jadi masinis, di kesempatan lain ia tiba-tiba ingin jadi dokter, kemudian di kesempatan lain lagi dia bilang ingin menjadi guru, lalu kenyataannya dia akhirnya menjadi kasir. Ini karena kita fokus pada apa yang diinginkan anak, bukan apa yang telah dirancangkan Tuhan baginya. Karenanya, akan lebih tepat jika kita mengarahkan anak untuk mengenal tujuan hidupnya di dunia, seperti yang telah Allah tetapkan baginya. Kita dapat bertanya pada anak seperti ini: “Nak, Tuhan mau kamu jadi apa di dunia ini?” Dengan bertanya seperti ini, anak kita arahkan untuk terus mencari jawaban-jawaban kepada Tuhan. Apa yang Tuhan inginkan dari anak adalah yang paling penting, lebih penting daripada yang diinginkan orangtua dan dirinya sendiri.
Orangtua tentu boleh memiliki ambisi untuk menentukan keberhasilan anak di masa depan. Namun, hendaknya ambisi tersebut merupakan ambisi yang kudus, yang ilahi. Yaitu keinginan yang dengan rela hati dibangun di atas dasar pernyataan agar “Jadilah kehendakMu bukan kehendakku.” Keinginan itulah yang nantinya kita taruh dan persembahkan kepada Tuhan supaya terjadi sesuai dengan yang Tuhan ingini. Jika pada akhirnya yang terjadi berbeda dengan keinginan kita, marilah kita memohon agar Tuhan memberikan damai di hati kita dan ketaatan untuk menerima kehendak Tuhan.
Refleksi Pribadi
Sesungguhnya masa depan adalah sesuatu yang melampaui dunia ini, yaitu yang berkaitan dengan masa yang tak terukur dalam kekekalan. Masa depan anak kita yang sesungguhnya adalah apakah nanti mereka akan berada bersama-sama dengan Tuhan atau tidak. Membawa anak untuk takut akan Tuhan itulah keberhasilan yang ingin diraih di masa depan yang sesungguhnya. Masa depan yang pasti, bahwa dia pasti akan terus bersama-sama dengan Tuhan, melekat pada Tuhan.
Biarkan anak-anak itu meraih masa depan mereka, tetapi terlebih dahulu rekatkan mereka pada Kristus. Dimulai sejak dini. Hari ini.